Ketika Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam
masih kecil (dan belum menjadi Nabi), ia ikut pergi bersama pamannya,
Abu Thalib, dan para pembesar kaum Quraisy dalam suatu perjalanan menuju
Syam. Sebagian ulama mengatakan bahwa itu ketika beliau Shallallahu’alaihi Wasallam berusia 12 tahun, dan sebagian lagi berpendapat beberapa tahun lebih tua itu.
Diriwayatkan dari Al Fadhl bin Sahl
Abul Abbas Al A’raj Al Baghdadi ia berkata, Abdurrahman bin Ghazwan Abu
Nuh menuturkan kepadaku, Yunus bin Abi Ishaq mengabarkan kepadaku, dari
Abu Bakr bin Abi Musa, dari Abu Musa Al Asy’ari radhiallahu’anhu, ia berkata:
خَرَجَ أَبُو طَالِبٍ إِلَى الشَّامِ ،
وَخَرَجَ مَعَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي
أَشْيَاخٍ مِنْ قُرَيْشٍ ، فَلَمَّا أَشْرَفُوا عَلَى الرَّاهِبِ هَبَطُوا ،
فَحَلُّوا رِحَالَهُمْ , فَخَرَجَ إِلَيْهِمُ الرَّاهِبُ وَكَانُوا قَبْلَ
ذَلِكَ يَمُرُّونَ بِهِ , فَلَا يَخْرُجُ إِلَيْهِمْ وَلَا يَلْتَفِتُ ،
قَالَ : فَهُمْ يَحُلُّونَ رِحَالَهُمْ فَجَعَلَ يَتَخَلَّلُهُمُ
الرَّاهِبُ حَتَّى جَاءَ فَأَخَذَ بِيَدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : هَذَا سَيِّدُ الْعَالَمِينَ , هَذَا رَسُولُ
رَبِّ الْعَالَمِينَ يَبْعَثُهُ اللَّهُ رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ ، فَقَالَ
لَهُ أَشْيَاخٌ مِنْ قُرَيْشٍ : مَا عِلْمُكَ ؟ فَقَالَ : إِنَّكُمْ حِينَ
أَشْرَفْتُمْ مِنَ الْعَقَبَةِ لَمْ يَبْقَ شَجَرٌ وَلَا حَجَرٌ إِلَّا
خَرَّ سَاجِدًا ، وَلَا يَسْجُدَانِ إِلَّا لِنَبِيٍّ , وَإِنِّي
أَعْرِفُهُ بِخَاتَمِ النُّبُوَّةِ أَسْفَلَ مِنْ غُضْرُوفِ كَتِفِهِ
مِثْلَ التُّفَّاحَةِ ، ثُمَّ رَجَعَ فَصَنَعَ لَهُمْ طَعَامًا فَلَمَّا
أَتَاهُمْ بِهِ وَكَانَ هُوَ فِي رِعْيَةِ الْإِبِلِ , قَالَ : أَرْسِلُوا
إِلَيْهِ , فَأَقْبَلَ وَعَلَيْهِ غَمَامَةٌ تُظِلُّهُ ، فَلَمَّا دَنَا
مِنَ الْقَوْمِ وَجَدَهُمْ قَدْ سَبَقُوهُ إِلَى فَيْءِ الشَّجَرَةِ ،
فَلَمَّا جَلَسَ مَالَ فَيْءُ الشَّجَرَةِ عَلَيْهِ ، فَقَالَ : انْظُرُوا
إِلَى فَيْءِ الشَّجَرَةِ مَالَ عَلَيْهِ ، قَالَ : فَبَيْنَمَا هُوَ
قَائِمٌ عَلَيْهِمْ وَهُوَ يُنَاشِدُهُمْ أَنْ لَا يَذْهَبُوا بِهِ إِلَى
الرُّومِ ، فَإِنَّ الرُّومَ إِذَا رَأَوْهُ عَرَفُوهُ بِالصِّفَةِ
فَيَقْتُلُونَهُ ، فَالْتَفَتَ , فَإِذَا بِسَبْعَةٍ قَدْ أَقْبَلُوا مِنَ
الرُّومِ فَاسْتَقْبَلَهُمْ ، فَقَالَ : مَا جَاءَ بِكُمْ ؟ قَالُوا :
جِئْنَا إِنَّ هَذَا النَّبِيَّ خَارِجٌ فِي هَذَا الشَّهْرِ , فَلَمْ
يَبْقَ طَرِيقٌ إِلَّا بُعِثَ إِلَيْهِ بِأُنَاسٍ , وَإِنَّا قَدْ
أُخْبِرْنَا خَبَرَهُ بُعِثْنَا إِلَى طَرِيقِكَ هَذَا ، فَقَالَ : هَلْ
خَلْفَكُمْ أَحَدٌ هُوَ خَيْرٌ مِنْكُمْ ؟ قَالُوا : إِنَّمَا أُخْبِرْنَا
خَبَرَهُ بِطَرِيقِكَ هَذَا ، قَالَ : أَفَرَأَيْتُمْ أَمْرًا أَرَادَ
اللَّهُ أَنْ يَقْضِيَهُ هَلْ يَسْتَطِيعُ أَحَدٌ مِنَ النَّاسِ رَدَّهُ ؟
قَالُوا : لَا ، قَالَ : فَبَايَعُوهُ وَأَقَامُوا مَعَهُ ، قَالَ :
أَنْشُدُكُمْ بِاللَّهِ أَيُّكُمْ وَلِيُّهُ ، قَالُوا : أَبُو طَالِبٍ
فَلَمْ يَزَلْ يُنَاشِدُهُ حَتَّى رَدَّهُ أَبُو طَالِبٍ ، وَبَعَثَ مَعَهُ
أَبُو بَكْرٍ بِلَالًا وَزَوَّدَهُ الرَّاهِبُ مِنَ الْكَعْكِ وَالزَّيْتِ
“Abu Thalib pergi ke Syam dan Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam pergi dengannya bersama dengan
pembesar-pembesar kaum Quraisy. Ketika mereka menjumpai seorang rahib,
mereka singgah dan berhenti dari perjalanan mereka. Lalu seorang Rahib
pun keluar menemui mereka. Padahal biasanya pada waktu-waktu sebelum
itu, rahib tersebut tidak pernah keluar dan tidak peduli ketika mereka
melewatinya.
Abu Musa berkata; “Lalu mereka
meletakkan perbekalan mereka, kemudian Rahib itu membuka jalan hingga
mereka sampai di hadapannya. Lalu ia memegang tangan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sambil berkata: “Anak ini akan menjadi penghulu semesta alam, anak ini akan menjadi Rasul dari Rabbul ‘Alamin yang akan di utus oleh Allah sebagai rahmat bagi seluruh alam”.
Maka pembesar Quraisy berkata: “Dari
mana Anda tahu hal itu?”. Rahib menjawab: “sebenarnya semenjak kalian
tiba di ‘Aqabah, tidak ada bebatuan dan pepohonan melainkan mereka
bersimpuh sujud, dan mereka tidak sujud melainkan kepada seorang Nabi.
Selain itu, aku juga dapat mengetahui dari stempel kenabian yang berada
di bagian bawah tulang rawan bahunya yang mirip seperti buah apel”.
Kemudian Rahib itu kembali ke dalam dan
menyiapkan makanan. Ketika Rahib mendatangi rombongan, Nabi sedang
berada diantara unta-unta. Rahib itu berkata: “tolong utuslah beberapa
orang untuk menjemputnya dari sana”. Maka kemudian Nabi datang dengan
dinaungi sekumpulan awan di atas beliau. Ketika Rahib mendekati
rombongan, ia temukan mereka tengah berebutan mencari naungan dari
bayang-bayang pohon. Anehnya ketika Nabi duduk, justru bayang-bayang
pohon itu menaungi beliau. Kontan si Rahib mengatakan: ‘coba kalian
perhatikan, bayang-bayang pohon justru menaunginya’.
Abu Musa berkata, ketika sang rahib
berdiri menghadap rombongan, ia memberi peringatan agar rombongan tidak
meneruskan perjalanan ke Romawi. Sebab jika mereka melihatnya, tentu
mereka akan mengetahuinya dengan tanda-tandanya itu, dan mereka akan
membunuhnya’. Ketika sang rahib menoleh, ternyata ada tujuh orang yang
baru datang dari Romawi dan menemui rombongan. Rahib bertanya kepada
mereka: ‘apa yang membuat kalian datang kemari?’. Rombongan itu
menjawab: ‘Begini, kami berangkat karena ada seorang nabi yang diutus
bulan ini. Oleh karena itu tak ada rute jalan lagi melainkan pasti
diutus beberapa orang untuk mencarinya. Dan kami diberi tahu bahwa ia
akan ditemui di rute ini’. Si rahib lantas bertanya: ‘Apakah dibelakang
kalian ada rombongan lain yang lebih baik dari kalian?’. Mereka
menjawab: ‘hanya kami yang diberi tahu bahwa ia akan ditemui di rute
ini’. Si rahib bertanya lagi: ‘Menurut kalian, jika Allah berkeinginan
untuk memutuskan sesuatu adakah orang yang dapat menolaknya? Mereka
berkata: ‘Tentu tidak ada’. Selanjutnya rombongan dari Romawi itu
berbaiat kepada si rahib dan tinggal bersamanya.
Rahib bertanya: ‘Saya nasehatkan kalian
untuk berpegang pada Allah, namun siapa walinya anak ini?’. Rombongan
Quraisy menjawab: ‘Abu Thalib’. Si rahib tiada henti-hentinya menasehati
Abu Thalib hingga ia mau mengembalikan Nabi ke Mekkah. Abu Bakar juga
memerintahkan Bilal untuk menemaninya, sedangkan si rahib memberinya
bekal berupa kerupuk dan minyak”
Hadits ini dikeluarkan oleh At Tirmidzi dalam Jami’-nya (3583), Al Hakim dalam Al Mustadrak (4167), Al Baihaqi dalam Dalail An Nubuwwah (386), Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyqi (811), Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya (35852), dan beberapa huffadz yang lain.
Sanad hadits ini shahih karena seluruh
perawinya adalah perawi yang dipakai oleh Bukhari dan Muslim. Al Munawi
berkata: “Tidaklah perawi dalam sanad hadits ini kecuali yang dipakai
oleh Bukhari atau Muslim atau keduanya. Namun tentang penyebutan Abu
Bakar dan Bilal statusnya wahm” (Takhrij Ahadist Al Misykah, 5/222). Syaikh Al Albani juga berkata: “Hadits ini shahih, namun penyebutan Abu Bakar dan Bilal statusnya munkar sebagaimana dikatakan para ulama” (Shahih At Tirmidzi, 3620).
Mungkin ada yang bertanya, bagaimana
mungkin Abu Musa Al Asy’ari menceritakan kisah ini padahal beliau baru
masuk Islam pada tahun 9 Hijriah ketika peristiwa perang Khaibar?
Sedangkan kisah ini masih sangat jauh masanya dari itu. Jawabnya, tentu
saja Abu Musa Al Asy’ari mendapatkan kisah ini dari sahabat Nabi yang
lain yang tidak disebutkan. Kasus ini disebut termasuk kasus hadits mursal shahabi. Dan para ulama pakar hadits menyatakan bahwa mursal shahabi itu hujjah, karena kaidah mengatakan:
الصحابة كلهم عدول
“Para sahabat Nabi itu semuanya adil”
Dengan demikian kisah ini adalah kisah yang shahih dan benar adanya.
Wabillahit Taufiq Was Sadaad
Rujukan: Shahih Sirah Nabawiyah, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, hal. 29-31
—
Penyusun: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar