Pages

Minggu, 13 Januari 2013

Parameter Menyerupai Orang Kafir

Dari Ibnu Umar, Rasulullah bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barang siapa menyerupai sekelompok orang maka dia adalah bagian dari mereka” (HR Abu Daud no 4031, dinilai oleh al Albani sebagai hadits hasan shahih).
Jika demikian berbahayanya masalah ini, kapankah seorang muslim dikatakan telah menyerupai orang kafir? Pertanyaan sangatlah penting terutama setelah kita jumpai sebagian orang yang dengan sangat mudah memvonis seseorang telah melakukan tasyabbuh/menyerupai orang kafir tanpa kaedah yang jelas.
Setelah mentelaah beberapa penjelasan ulama dalam hal ini bisa kita simpulkan adanya beberapa pandangan tentang hal ini.
Ada yang berpandangan bahwa suatu kebiasaan orang kafir yang telah tersebar di tengah-tengah kaum muslimin tidak bisa jadi patokan bahwa hal tersebut tidak lagi mengandung unsur menyerupai orang kafir.
Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh pihak yang memiliki kaedah dan pandangan semacam ini.
1. Realita menunjukkan bahwa kebiasaan tersebut tidaklah tersebar di tengah-tengah orang Islam melainkan melalui orang kafir. Artinya melalui orang kafirlah, kaum muslimin mengenal budaya semacam itu. Di antara buktinya, sebagian hal tersebut masih disebut ‘dandanan ala eropa, model rambut Amerika’ dan semisalnya.
2. Andai kita berpandangan bahwa budaya orang kafir yang telah tersebar merata di tengah-tengah kaum muslimin tidak lagi dinilai mengandung unsur tasyabbuh maka hadits-hadits yang melarang tasyabbuh dengan orang kafir tidak lagi berfungsi. Ini adalah suatu hal yang sangat jelas karena manusia saat ini kecuali yang Allah sayangi telah mengadopsi budaya dan kebiasaan orang-orang kafir.
3. Menyelisihi orang kafir adalah suatu hal yang dituntut oleh syariat karena kesamaan dalam penampilan lahiriah itu akan membuahkan keserupaan dengan orang kafir dari sisi batinnya. Seorang muslim harus tampil beda dengan orang kafir dalam penampilannya. Oleh karena khulafaur rasyidin mengharuskan orang kafir yang tinggal di negeri kaum muslimin agar tampil beda dan tidak serupa dengan orang Islam.
4. Yang jadi tolak ukur bukanlah semua kaum muslimin namun orang-orang shalih, berilmu dan faham sunnah dari kaum muslimin. Orang Islam yang hobi maksiat tidak bisa jadi tolak ukur dalam masalah semisal ini. [Lihat Majmu Fatawa al Adab karya Nashir bin Hamd al Fahd]
Sedangkan pandangan yang lain menilai bahwa sesuatu yang telah tersebar luas di kalangan kaum muslimin tidak lagi mengandung unsur menyerupai orang kafir meski pada awal hal tersebut menjadi cirri khas orang kafir. Di antara yang berpandangan semisal ini adalah Imam Malik. Demikian pula Ibnu Hajar al Asqalani. Sedangkan di antara ulama kontemporer adalah Syeikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin.
Beliau pernah mendapatkan pertanyaan, “Apa yang menjadi tolak ukur dalam permasalahan menyerupai orang kafir?”.
Jawaban beliau, “Menyerupai orang kafir bisa terjadi pada penampilan, pakaian, cara makan dan sebagainya karena tasyabbuh/menyerupai adalah kata yang maknanya luas. Yang dimaksud menyerupai orang kafir adalah melakukan hal yang menjadi ciri khas orang kafir sehingga siapa saja yang melihatnya akan mengira bahwa orang yang dilihat adalah orang kafir. Inilah parameternya.
Adapun sesuatu yang telah tersebar luas di tengah-tengah orang Islam dan orang kafir maka melakukannya itu diperbolehkan meski pada asalnya budaya tersebut berasal dari orang kafir tentu dengan syarat hal tersebut bukanlah terlarang secara khusus dalam syariat semisal pakaian sutra” (Majmu Durus wa Fatawa al Haram Makki 3/367, lihat Fatawa Ulama al Balad al Haram hal 601).
Dalam kesempatan yang lain, beliau mengatakan, “Tolak ukur tasyabbuh adalah melakukan sesuatu yang menjadi ciri khas pihak yang diserupai. Sehingga yang dimaksud menyerupai orang kafir adalah adanya seorang muslim yang melakukan salah satu dari ciri khas orang kafir.
Sedangkan sesuatu yang telah tersebar di kalangan kaum muslimin dan tidak lagi menjadi ciri khas orang kafir maka tidak lagi mengandung unsur menyerupai orang kafir. Sehingga hal tersebut tidak lagi diharamkan karena alasan menyerupai orang kafir kecuali jika hal tersebut haram karena faktor lain. Yang kami katakan ini merupakan konsekuensi dari istilah tasyabbuh/menyerupai. Hal ini telah ditegaskan oleh penulis Fathul Bari 10/272, “Sebagian ulama salaf melarang memakai burnus (jubah yang ada tutup kepalanya) dengan alasan pakaian tersebut adalah pakaian para pendeta. Namun Imam Malik pernah ditanya tentang hukum memakai burnus, jawaban beliau, “Tidak mengapa”. Ada yang menyanggah, “Bukankah itu pakaian para pendeta?” Jawaban beliau, “Pakaian tersebut dikenakan oleh kaum muslimin di sini”….
Dalam Fathul Bari 1/307, Ibnu Hajar mengatakan, “Andai kita katakan bahwa larangan memakai al mayatsir al Urjuwan (sejenis pakaian) adalah karena menyerupai orang ajam (non Arab yang kafir) maka berarti larangan tersebut karena faktor agama. Akan tetapi pakaian tersebut merupakan simbol orang mereka ketika mereka adalah orang-orang kafir. Kemudian tatkala sekarang hal tersebut tidak lagi menjadi simbol orang kafir maka alasan untuk melarang memakai pakaian tersebut sudah tidak ada lagi. Sehingga hukum makruh untuk itu sudah tidak ada lagi” (Fatawa al Aqidah hal 245, lihat Fatawa Ulama al Balad al Haram hal 602).
Beliau juga mengatakan, “Apakah misalnya ada satu model pakaian yang asalnya adalah pakaian orang ajam dan orang kafir tersebar luas baik di kalangan orang kafir maupun orang Islam, masihkah kita katakan bahwa memakai model pakaian ini tetap terlarang? Ataukah kita katakan bahwa status pakaian tersebut telah berubah menjadi pakaian netral, tidak lagi pakaian khas orang kafir? Jawaban yang tepat adalah pernyataan yang kedua. Inilah yang ditegaskan oleh Imam Malik dan yang lainnya.
Contohnya adalah pantalon. Di berbagai negeri Islam pantalon adalah pakaian keseharian kaum muslimin. Oleh karena itu pada saat ini tidaklah kita katakan bahwa pantalon adalah pakaian Majusi, musyrik atau pakaian orang kafir. Hal ini dikarenakan pantalon sekarang berstatus sebagai pakaian yang netral. Namun jika ada orang yang mengenakan pantolan di suatu daerah yang penduduknya tidak terbiasa mengenakannya maka orang tersebut telah melakukan hal terlarang yang lain yaitu memakai pakaian syuhrah (pakaian yang menyebabkan popularitas). Maka orang tersebut dilarang karena pakaian popularitas bukan karena tasyabbuh” (Iqtidha’ karya Ibnu Taimiyyah dengan komentar dari Ibnu Utsaimin hal 177, Darul Aqidah Mesir).
Setelah ditelaah lebih lanjut, nampaknya pendapat yang kedualah yang lebih tepat kecuali jika yang tersebar di tengah kaum muslimin tersebut adalah simbol-simbol keagamaan milik orang kafir. Misal mengenakan kalung salib tersebar merata di suatu komunitas muslim maka tetap kita katakan bahwa mereka adalah orang-orang yang menyerupai orang kafir. Jadi kaedah di atas hanya berlaku untuk produk-produk budaya orang kafir dan tidak berlaku untuk simbol-simbol keagamaan.

0 komentar:

Posting Komentar